
Sudah beberapa tahun kami mengampanyekan pendirian bahwa bisnis sosial adalah puncak dari anak tangga bisnis yang bertanggung jawab sosial. Bisa saja bisnis komersial biasa, yang memandang keuntungan sebagai satu-satunya tujuan, menjalankan corporate social responsibility (CSR), tetapi yang pasti terjadi adalah mereka melakukannya hanya sebagai bentuk kepatuhan pada regulasi dan/atau sebagai bentuk manajemen risiko. Bila masyarakat marah, perusahaan berbaik-baik.Ketika kemarahan mereda, perusahaan tidak lagi melakukannya.
Anak tangga berikutnya diisi oleh bisnis yang melihat keuntungan sebagai fundamental constraint, sama seperti makanan terhadap manusia. Kalau sudah untung, mereka memanfaatkannya untuk berbagai tujuan lain, termasuk tujuan filantropis.
Naik satu tingkat, ada bisnis yang bersungguh-sungguh menjalankan triple bottom line. Pada bisnis ini, keuntungan hanyalah salah satu dari tiga tujuan perusahaan. Dua yang lain, tujuan sosial dan lingkungan adalah sama pentingnya sehingga tak boleh dikorbankan ketika mencari keuntungan.
Naik lagi, ada bisnis yang yakin bahwa keuntungan hanyalah by product dari kemampuan perusahaan memuaskan pemangku kepentingannya. Makin besar proporsi pemangku kepentingan yang puas terhadap perusahaan, makin besar peluang perusahaan mendapatkan keuntungan dalam jangka panjang.
Di puncak tangga, ada bisnis sosial, yang meyakini bahwa tujuan bisnis itu adalah memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, terutama kelompok rentan.Perusahaan sosial membuat model bisnis untuk memastikan bahwa lewat mekanisme pasar masalah itu terpecahkan.Bagaimana posisi keuntungan di bisnis sosial?Kalau keuntungan diperoleh, maka sebagian besarnya direinvestasi lagi, agar penerima manfaatnya menjadi semakin besar.
Kebanyakan orang memang membayangkan anak tangga itu sebagai piramida, yang paling lebar di bagian bawah, dan paling sempit dan runcing di bagian atas. Kalau melihat kenyataan hingga sekarang, sangat boleh jadi, bentuknya memang demikian. Namun, perkembangan mutakhir tampaknya menuju suatu kondisi di mana bisnis sosial bisa menjadi arus utama.
Kalau ciri pertama bisnis sosial adalah tujuan memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat, maka ada banyak kisah yang menunjukkan bahwa perubahan ke arah itu sedang terjadi. Dan ini bukan sekadar terjadi pada mereka yang memulai bisnis. Almarhum Ray Anderson, pendiri Interface, mengubah bisnis komersial biasanya menjadi bisnis sosial setelah membaca buku tipis berjudul Ecology of Commerce, karangan Paul Hawken. Dia kemudian melihat bisnis karpetnya yang tadinya sangat mencemari alam menjadi bisnis daur ulang karpet yang ramah lingkungan. Kisah pergeseran menuju bisnis sosial sebagaimana yang dialami Anderson sekarang sangat banyak.
Ciri yang lain, memanfaatkan model bisnis (bukan donasi) untuk memecahkan masalah itu, serta menempatkan inovasi (sosial) sebagai jantung bisnis juga bukan hal yang sulit untuk dicapai. Inovasi kini adalah salah satu jurus terpenting dalam keunggulan bersaing. Yang penting diubah adalah bahwa dalam inovasi sosial, penerima manfaat itulah yang perlu mendapatkan keuntungan terlebih dahulu, baru kemudian perusahaan sosial yang menjalankannya. Juga, kalau bisnis komersial cenderung menggapai keunggulan dengan bersaing, bisnis sosial tegas memilih untuk berkolaborasi untuk menjadi unggul.
Ciri berikutnya dari bisnis sosial adalah proses produksi dan produk yang ramah ekonomi-sosial-lingkungan. Perusahaan-perusahaan komersial, terutama yang progresif, juga sangat jelas mengarah ke sana. Hanya saja, memang ‘ideologi’ dari bisnis sosial akan membuat sifat ramah itu menjadi tampak ekstrem. Ramah ekonomi misalnya, itu salah satu artinya adalah perdagangan yang adil dengan seluruh pemasok. Arti lainnya adalah peningkatan kesejahteraan yang mengutamakan pekerjanya terlebih dahulu, bukan mereka yang ada di manajemen puncak.
Mungkin ciri terakhir yang dipandang paling problematik, dan bisa menghambat bisnis komersial bertransformasi menjadi bisnis sosial. Ciri itu, reinvestasi majoritas—pada kasus tertentu bahkan seluruh—keuntungan, bisa membuat niat menjadi surut. Bayangkan, keuntungan yang bisa dinikmati pemilik modal dibatasi tak boleh lebih banyak daripada keuntungan yang dinikmati penerima manfaat!
Jadi, hambatan paling besar dari lima ciri utama bisnis sosial adalah ketentuan atau norma tentang reinvestasi itu. Tetapi, itu bukannya tidak mungkin diatasi. Buktinya, pertumbuhan bisnis sosial sekarang jauh melampaui pertumbuhan bisnis komersial.
Leave a Reply