Sejak pagi, Nadia (24) sudah sibuk di depan komputernya. Tanpa mengalihkan pandangan dari layar, dia menjelajahi internet sambil mencari inspirasi resep roti yang akan dibuatnya.
Hari itu, Jumat (3/5/2019), dia ditugaskan membuat sebuah resep roti baru untuk kliennya. Setelah menemukan ide, dia bergegas menuju pasar untuk membeli bahan-bahan yang dibutuhkan.
Setibanya di kantor, Nadia langsung menuju dapur untuk mempraktikkan resepnya. Tak jarang, dia harus mencoba membuat roti berkali-kali untuk mendapat hasil yang dinginkan.
Bagi Nadia, membuat resep dan mengembangkannya sesuai permintaan klien bukanlah hal baru. Sudah sekitar 10 bulan dia bekerja sebagai technical baker di sebuah perusahaan di daerah Sunter, Jakarta Utara.
“Tugasnya itu seperti konsultan produk. Misalnya, klien ada yang bertanya soal pengolahan produk atau minta dibuatkan resep jualan khusus untuk klien,” cerita Nadia, Sabtu (4/5/2019).
Dia mengaku, cukup menyukai pekerjaannya saat ini. Sebab, banyak hal yang bisa didapatkannya, mulai dari berhadapan dengan keinginan klien, mempelajari pasar bakery, hingga menambah relasi.
Namun saat ditanya soal cita-cita, Nadia mengatakan, pekerjaan yang digeluti saat ini bukanlah impiannya. Dia mengaku ingin memiliki usaha sendiri. Alasannya, karena tidak ingin selamanya menjadi karyawan.
“Cita-cita saya pengin punya katering besar gitu. Katering untuk acara pernikahan,” ungkap perempuan yang berdomisili di Bekasi itu.
Ternyata, Nadia tidak sendiri. Banyak juga milenial yang memiliki cita-cita sama dengan perempuan berkerudung itu, yakni memiliki usaha sendiri.
Sebuah survei bertajuk Indonesia Milenial Report 2019 menunjukkan 69,1 persen milenial berminat menjadi entrepreneur atau membuka usaha sendiri. Ini berarti 7 dari 10 milenial memiliki jiwa entrepreneurship.
Hal ini sejalan dengan pandangan mereka soal prioritas utama di masa depan. Penelitian yang melibatkan 1.400 responden di 12 kota besar Indonesia itu menunjukan 32,1 persen milenial ingin menjadi pengusaha atau entrepreneur sukses di masa depan.
Gaji jadi penentu
Sementara itu, terkait bekerja di perusahaan, ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan milenial dalam memilih pekerjaan. Faktor gaji menjadi pertimbangan nomor satu dengan persentase 83,7 persen.
Menyusul faktor tentang teknis atau jenis pekerjaan sebesar 44,4 persen, brand perusahaan, durasi waktu bekerja, dan lokasi pekerjaan yang memperoleh suara sekitar 23 persen. Hal ini berarti, ketika melihat lowongan pekerjaan, pertama kali yang dilihat adalah berapa besaran gaji, baru melihat faktor lain.
Selain gaji, fasilitas pengembangan diri menjadi salah satu penyebab milenial bertahan bekerja di suatu perusahaan. Masih menurut penelitian yang sama, pengembangan diri dan lingkungan kerja menjadi hal penting bagi milenial. Penyebabnya adalah karakter khas yang dimiliki generasi yang lahir medio 1980 – 1997, yakni connected, confident, dan creative. Karakter kreatif, yang merupakan passion mereka, kemudian terbawa ke lingkungan kerja.
Survei tersebut juga menunjukan generasi ini lebih suka bekerja dengan kebebasan untuk berkreativitas, fleksibilitas waktu dalam bekerja, dan bekerja secara tim.
Bagi milenial, yang dikenal sebagai generasi dengan tingkat loyalitasnya rendah itu, meraih kesuksesan tidaklah mudah. Untuk meraihnya, dibutuhkan fokus, kerja keras, dan totalias.
Karena kesuksesan tidak dapat diraih jika dijalankan setengah-setengah. Entah itu menjadi entrepreneur atau bekerja di sebuah perusahaan, semuanya butuh totalitas dalam menjalankannya.
Leave a Reply